Salam Literasi! Kopi, Ponco, dan Silo OLEH: Khoeri Abdul Muid Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati. Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3. Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking. Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka. Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka. Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog Gurusiana. "Mas. Dalam buku John Gardner yang ilmuwan barat itu dikatakan. Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu. Dan, jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Njenengan percaya teori itu, Mas?" tanya Ponco melempar masalah diskusi. Sembari mengkonfirmasinya dengan melihat kutipan kalimat itu yang sengaja ditulisnya di secarik kertas. Agar persis. Tak meleset. "Percaya," jawab singkat Silo. Bah. Tak sesuai ekspektasinya. Tak setimpal dengan jerih-payah mengajukan kutipan panjangnya. "La, bagi bangsa Indonesia. Apa sesuatu yang dipercaya itu, Mas?" "Pancasila," jawab Silo, masih saja irit. "Kenapa?" tanya anyel Ponco sembari lekat memandang wajah Silo. Silo hanya tersenyum simpul. Mempermanis wajah gantengnya. Secangkir kopi yang masih panas digulirkannya bertahap di lepek. Lalu perlahan disruput. "E. Apa, Co?" Ponco menarik napas. Sadar, Silo belum hangat berpikir. "Kenapa bangsa Indonesia percaya pada Pancasila. Kok tidak percaya saja pada agama, Mas?" "Itu interpretasimu." "La emangnya, salah, Mas?" "Bangsa Indonesia sangat percaya pada agama. Dan, bersepakat menjadikan Pancasila sebagai ideology negara. Agama dan Pancasila dua hal berbeda tapi bukan bertentangan, Co". "Maksudnya, Mas?" Kali ini Ponco masih penasaran, "Kenapa bangsa Indonesia percaya pada Pancasila. Kok tidak percaya saja pada agama, Mas?" "Bangsa Indonesia sangat percaya pada agama. Dan, bersepakat menjadikan Pancasila sebagai ideology negara. Agama dan Pancasila dua hal berbeda tapi bukan bertentangan, Co." "Maksudnya, Mas?" "Pancasila dan agama jelas bedalah, Co." Ponco hanya memperhatikan tanpa mereaksi dengan kata-kata. "Pertama... Tulisannya." "Em. Asem, Njenengan ki Mas,! Yang kedua?!" "Gini, Co. Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Kamu tahu arti nusantara? Ialah lautan yang ditaburi pulau-pulau. Karenanya negeri Nusantara merefleksikan sifat lautan dan sekaligus sifat pulau atau tanahnya yang subur terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik, Co". "Yup. Interupsi. Apa itu hubungan sifat lautan dan tanah, dengan pertanyaan saya, Mas?" "Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan. Mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran. Sementara tanah yang subur, memudahkan segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat tanahnya, untuk tumbuh. Nah..." "Nah, apa, Mas?" "Nah. Pancasila sebagai warisan dari jenius Nusantara dengan karakter kenusantaraannya itulah, Coy. Merupakan habitat yang tepat bagi tumbuh-kembangnya agama-agama, yang berketuhanan yang Mahaesa, Co." "Emmm." Ponco mengangguk-angguk. "Asal tahu saja, Co. Dalam sejarahnyapun. Di Negeri Pancasila ini. Apapun budaya dan ideology yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh system social dan tata nilai setempat, hampir dapat dipastikan, dapat berkembang secara berkelanjutan. Ya kan, Co? Itu angel yang pertama, Co!" "Emmm..." Ponco makin mengangguk-angguk. Tapi tanpa tri li li li li li li sebagaimana burung Kutilang.* "Nah. Pancasila sebagai warisan dari jenius Nusantara dengan karakter kenusantaraannya itulah. Merupakan habitat yang tepat bagi tumbuh-kembangnya agama-agama, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Co." "Jadi. Pancasila bagai wadah dan Agama merupakan isinya, Mas?" "Penggambaran itu tidak selalu tepat, Co. Karena akan menimbulkan spekulasi persepsi. Seolah-olah Pancasila lebih luas dari Agama. Atau seolah-olah Pancasila lebih hebat dari Agama. Padahal, Agama dan Pancasila dua hal berbeda, dan bukan bertentangan, Co!" tegas Silo. "Ya, Mas. Bagaimana kalau ada yang bilang inti Pancasila adalah Agama?" "Em... Mari, ngopi dulu lah, Co!" Silo break setelah dicerca Ponco. Kopi white ala warung Bang Bend yang sudah agak dinginpun disruput mantap. Lalu sebatang pisang godog juga disantap lezat. Seturut kemudian Ponco-pun idem. Sembari mengelap mulut dengan tissue, Ponco mengulang tanya. "Benarkah inti Pancasila adalah Agama, Mas?" "Begini, Co. Sila-sila dalam Pancasila yang lima itu memiliki hubungan hierarkis pyramidal." "Maksudnya, Mas?" "Antara satu sila dengan sila lainnya memiliki hubungan atau keterkaitan. Dan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjamin kebebasan beragama itu memang memiliki sifat keutamaan. Karena sila I meliputi dan menjiwai sila-sila II, III, IV, V. Sila II diliputi dan dijiwai oleh sila I dan meliputi serta menjiwai sila-sila III, IV, V. begitu pun seterusnya." "O. Pantas. Symbol NKRI itu Garuda Pancasila. Dan, hati yang tersimbol dalam perisai bergambar rantai emas, pohon beringin, kepala banteng dan kapas-padi itu berpusat pada inti hati lagi yang bergambar bintang ya, Mas?" "Maksudmu, Co?" Ya. Simpulan Ponco yang dikonfirmasikan balik itu membuat Silo mengernyit!* Sumber : Kompasiana.com
Berikut Kegiatan literasi hari ini:
Kerjakan dengan baik dan bertanggungjawab.
Salam Literasi
Terimakasih 🙏
-Tim Literasi-
Presensi
Salam Literasi