Puisi Kado Ulang Tahun Pak Delfi
Perlahan, keguyuban kita di ruang guru itu, menjelma mata tombak yang rapuh. Guyon celoteh yang ngapung di ruangan saat pleno itu, tak bersambut kemeriahan. Seseorang dengan paksa mencegatnya. Maka celoteh itu serupa serak kerongkongan tersumpal minyak.
Tak ada lagi jejalan canda yang terajut seperti di ruang lama. Dulu. Ketika banyak mimpi tetap berseri, meski pada buhul tandus musim pandemi. Dulu masih banyak wajah tanpa ambisi.
Kini kita perlahan menjadi ikan dengan buruk wajah, berdaging renyah tapi sia-sia. Merajut rahasia, menenun kesabaran, dan memberi makna pada keluasan cakrawala.
Seharusnya ini kita jadikan petak sempat, tempat berkubang jejak-jejak mimpi menjulang kembali, menjadi kiblat bagi catatan yang hilang. Kerna esok, bisa jadi, di ujung pandemi, mendulang cinta yang lurus menghunus sejurus kejayaan. Jaya...jayaa...jayaa..delapan satu
Puisi kado ulang tahun Pak Arif Setiawan
EPIPHANY FISIKA DALAM BADAI OMICRON
Yakinlah, kita tidak sedang tersesat di peta ini perjalanan. tidak juga mampat dalam amuk samudera omicron. Oh, kita tidak perlu membelah sebatang pohon apapun meniru Nuh mengarungi lautan. Waktu.
Kita hanya perlu hukum fisika sederhana, ayunan keteguhan iman. Nahan buai perut. Hingga kemenangan. Lalu kita masuk ke sana. menabur kesyukuran.
Yakinlah, kejayaan itu kian dekat. tak perlu bualan kata-kata pekat.
Katakanlah, di tanah delapan satu. Sempurna apa darah menyerpih hingga dadu mata tercelup kuyup di batang kayu pipih itu. Sembari diam-diam kita simpan semilir kesepian erat-erat di kerat sang kala. Mabuk.
Puisi Kado Ulang Tahun Pak Restu
NAMASKARA SANG GURU SENI
Berbahagialah yang berulang tahun di bulan akhir. Kerna akan segera disambut tahun baru lahir. Disambut bentangan hari yang laksana mutiara berkilauan di rongga-rongga labirin tabir
Maka, pak restu, sang guru seni delapan satu, akan menyaksikan matahari jatuh di permukaan waktu dan menyulapnya menjadi warna pelangi. Meski masih saja ini pandemi mengikuti.
Sang guru seni perlahan menjadi bocah yang riang mengejar pucuk cakrawala, menggambari bintang menjadi mata angin seni suara, dengan notasi wewangi kata, menuju ceruk-ceruk enigma dalam jejak hikayat tersimpan di kebisuan makna.
Pak restu, esok adalah fajar dalam leret-leret cahaya sorga yang datang pertama menyambutmu dalam bauran warna sendu seperti syair lagumu: Haloo... halooo.... delapan satu.... Hari inii hari luar biasa...
di hening delapan satu kami tenggelam dalam surya namaskara, menikmati pagi dalam hangat cahaya, pada setiap kedip netra, pada setiap denting sukma
Kado puisi ulang tahun pak Zulmarjon
SATU LAGU YANG SUMARAH
Tak kutemukan kata pertama dalam catatan puisi kali ini. Kita hanya sepercik angan yang tercemplung dalam cengkeram pandemi.
Meski kita masih boleh bermimpi, menemu PTM lain hari. Tapi itu serupa garis semu antara tuju dan asal.
Ah, lupakan sejenak. Tiada yang kita pahami di luas cengkeraman omicron tak berbelas ini. Hari-hari ini bahkan riwayat kita larut dalam kalut gelombang teka-teki. Negatif atau reaktif.
Jarak kembali memisah kita – memecahnya jadi ribuan alamat kabur. Ke utara, ke selatan, membentur di rawan karang BR zoom. waktu perlahan hilang. Mari kita buat sesaat yang purba ini kekal dalam debur-debur hibur.
Hei, hari ini ada yang berulang tahun. Mungkin ia sedang menatap kita. Mungkin ia mau bicara. Atau mungkin ia mau sedekah kata-kata. Dalam lagu sederhana.
Berikan seluang waktu ia bernyanyi, sekali lagi, sudah itu hilanglah duka.
Kita mungkin melihatnya iba. Ingin menyapa, tapi lambai kabar positif corona, membuat berita ulang tahunnya tak sampai. Mari beri kosong ini ruang mewarta bagi ini si uda.
Mari beri ia tabik mesra. Duka yang tak punya lidah. Satukan dalam kumandang. Madah riang yang sumarah
Kado Puisi Ulang Tahun Bu Ayu dan Bu Arum
SELAMAT PAGI DELAPAN SATU
Lapis-lapis kenangan selalu tumbuh di musim berawan. Selalu ada harapan untuk merayakan. Dan di delapan satu, pagi adalah tentang cuaca yang ramah, ketika waktu termangu, tumpukan tugas itu, kenangan ruang guru. Catatan-catatan gurih, igauan nurani, canda teman karib sendiri.
Selamat pagi, hampir habis usia kita. menjaga angin pagi agar senantiasa berguna untuk menyebarkan gembira bahwa hidup perlu dilanjutkan, karena esuk hari akan lahir generasi-generasi yang lebih segar, lebih pyar dibanding manusia lena.
Selamat pagi delapan satu. Empukmu sampai ke pusat hati. adalah lagu diam dan keteduhan yang tersembunyi di negeri ini. Terima kasih. masih ada sisa narasi, masih ada sisa masa depan bagi kami. dan ramahnya ruang huni untuk percakapan kecil kami. Meski itu nyaris tidak berarti.
Ah, pandemi. biarlah menawar suasananya sendiri, kapan dia berhenti.
Kado Puisi Ulang Tahun Pak Sugiyanto
KENANGAN GURIH TAHU SUMEDANG
Dibekalinya kita ingatan tentang hikayat tahu sumedang yang nomplok di meja ruang guru sebagai cetak-biru hidangan khas delapan satu
Ah, selalu ada ritual sederhana tersaji. Setiap pagi, hari-hari yang selalu dinanti : tawa geli, matahari sejuk di ekor hari-hari, semringah bersama bunga-bunga kebun yang rekah.
Kini, tak banyak yang terbawa dalam kenangan sebelum pandemi, hanya keteguhan dan kenangan, telah tergenggam secarik tiket untuk ptm esok hari bersama alarm omicron yang membuat rencana-rencana pembelajaran kita bergetar.
Hari demi hari tak sama lagi. Dulu saat berada di ruang guru itu, banyak hal tak terduga, bahkan mungkin kecemasan saat celoteh mengisi berita pagi.
Pandemi ini seperti memaksa kita memahami, bahwa kita hidup di sisi takdir setiap orang, seperti halnya daunan di suatu pohon, beberapa gugur tersapu angin, sementara kita masih bertahan pada jarak ini.
Kesabaran memang tak pernah cukup, meski kita melipatnya ke dalam memori atau segenap jemari yang tertangkup, pertemuan itu selalu berujung harapan pada gurihnya tahu sumedang
Puisi ulang tahun Pak Nasikin
waktu 24 jam tak pernah cukup. Selalu ada pecahan kata dalam kepalaku. kata-kata menjelma buta kala, pemangsa loba bermata senja, berkesah serupa resah
Geliat kata-kata dalam kepalaku selalu berkelana menjelang subuh tiba, ketika raga tersentak oleh sejuk air dini hari gelegak pesona. Lalu kata-kata itu melayang, mengalir setenang air telaga, setenang api membakar jiwa
Sudah kubersihkan kepalaku dari sekadar kata-kata, dari jejak orang lalu, dari jejak yang selalu mengucapkan nama lengkapnya dengan sembilu
Seringkali, 24 jam aku terapung-apung dalam kepala, menanak kata-kata, meramu mantera, kutukan sang kala. Lalu sesuatu seperti naga bergulung di gigir waktu. menunggu. kapan isi kepalaku burai. lalu dimintanya kembali kata-kata itu. yang pernah kupinjam. untuk mencipta sebuah puisi.
Kau tahu, setiap selesai kutulis puisi, kutinggalkan padanya dunia tak tampak, kecuali serupa kelok bayang separuh batang lidi terjulur ke dalam perigi. Padahal setiap merangkak ke jenjang siang, kata-kata lahir tak berkejadian tak berkarena, menggigil kepalaku di puncaknya. serupa Musa menuju Thursina
Padahal kata-kata adalah tubuhNya. Tubuh yang bukan seseorang. tubuh yang bukan bayang-bayang. Tubuh yang tak membayang, tak melayang
Kata-kata yang kucipta dalam puisi bukan ratap segetas hujan berwarna hitam, bukan hantu yang sedih merangkum sekalian kelam. Tapi kata-kata itu adalah peraman lubuk yang perih, degup jantung angin ngarai yang gelap, tangis yang sayup, lambai tak sampai-sampai
Kado Puisi Ulang Tahun Bu Christin
Bu Christin yang baik. Rupanya belum tamat obrolan kita karena puisi mengunjungimu.
Terima kasih, telah kau jamu aku dengan lontong dan sekotak bihun. Memang ada getar sayap isyarat, aku menebak ini ulang tahun
Anai-anai cerita telah kusampaikan, terlepaslah ini beban. Ada jenaka menukar besi kejenuhan dengan kegembiraan.
Untunglah ruang guru ini tak pernah kekurangan kata-kata. Kata-kata tak pernah selesai. Tiap orang bagai gelanggang bagi menempa kata-kata yang tak selesai-selesai
Tapi bagiku, masih saja ragu semua itu apakah bisa menebak kecerdasanmu. Apakah rela kita terus jadi segenggam abu pendiangan di tungku yang pucat pasi pemanas waktu
Sebenarnya tak ada persaingan kompetensi di antara suka duka cerita di ruang maya. Roh yang memompa kita hanyalah rasa takut kepada umur. Kita takut tak dapat menanggalkan kesombongan dan mengisi waktu dengan seluruh kebaikan diri yang kita punya seutuhnya.
Maaf, ini bukan kisah tak sampai-sampai. Ini hanya kisah sederhana, kisah menitah menatah asap pepatah patah-patah. Semoga bila pagi datang, siang menjelang, selalu ada hidangan yang siap disantap sebagai keluarga cemara yang mengudap rahasia dengan sepenuh rasa lapar
Puisi kado ulang tahun Bu Huru, Bu Evie, Pak Resi, dan Bu Indri
KUNCEN EKAPAKSI
Merindukan belajar tatap muka adalah imajinasi tentang mutiara berkilauan di rongga-rongga mata.
Maka ketika matahari jatuh di permukaan lapangan olah raga, menyulap bata terakota jadi ilusi warna pelangi dengan irama tadarus dan doa pagi.
Lantas langkah-langkah yang tergesa berkejaran dengan indonesia raya, menjadi catatan narasi dengan keriangan bocah-bocah ekapaksi mengejar resolusi,
Di ruang-ruang kelas, wajah-wajah bermasker menyimpan ceria menyentuh pucuk-pucuk cakrawala.
Gambar-gambar di ruang itu menjelma mata angin bahagia, harapan yang ditaburkan, wewangi kata pelengkap catatan harian yang sempurna. aroma canda tawa, celoteh-celoteh dari ceruk-ceruk jiwa, runduk namaskara dalam jejak riwayat-riwayat yang menyirat kebisuan moksa
Semoga esok menjadi fajar dengan leret-leret cahaya sorga, dalam bayang bocah-bocah ekapaksi, riang menenteng impian warna paripurna.
kukirim sajak ini untuk menemanimu, yang berulang tahun tiga mei. dalam perjalanan menjadi guru prakarya, tempat langit gemilang, memang ada kendala dari kejumudan yang dalam, ide-ide yang beku. tetapi langit harapan segera menjelma impian, semangat yang dijelmakan jadi segara dan mata air pengetahuan, lalu akan kembali seperti bayi dihadapkan pada kepuasan yang ditawarkan kehidupan.
Kukirim sajak ini untuk menemanimu, yang berulang tahun empat mei, dalam perjalanan yang sudah dijadwalkan rahim kemulyaan. menjadi kepala sekolah adalah kegembiraan yang membuatmu sanggup bertahan menjadi guru biologi yang sahaja.
kukirim sajak ini untukmu, yang berulang tahun delapan mei, sebagai wakil kepala sekolah, saat kau memintal jadwal-jadwalmu dan berkata, “adakah yang lebih bahagia selain tidur yang tak terganggu mimpi-mimpi?”
kukirim sajak ini untuk menemanimu, yang berulang tahun sepuluh mei. menjadi guru kimia adalah catatan atas altar curam, dengan percakapan-percakapan indah yang riuh, di sela-selanya harapan dilantunkan dalam sunyi berkabar pada lenguh musim yang datang dan pergi
Puisi kado ulang tahun Bu Rina Astuti
Sekaleng krupuk di ruang guru itu. kuambil isinya tanpa permisi. sebab masih pagi. sepi. lumayan teman sarapan pagi. sembari renungi pandemi. yang belum pergi. menikmati krupuk. dalam ptm yang suntuk. Mendadak narasi kita di delapan satu bagai Nuh. dalam kapal penuh muatan. berlayar hingga pandemi rubuh. Pandemi bagai gelombang. menggulung rencana. keceriaan kita. mengurung. dalam semayam zoom sederhana : belajar dari rumah. kadang ingin tetap bahagia. di sebuah tempat serupa muara bagja pada ini sekolah. sebuah tempat bernama ruang guru. selalu nyaman. jantung sekolah.
kita bisa menjadi keluarga cemara
bercengkerama dengan sayur asam, daging bebek yang disuwir, kacang-kacangan, hingga ikan tongkol goreng pedas.
TUGAS
Silakan memberi tanggapan di kolom komentar untuk puisi-puisi itu atau salah satu puisi yang menurutmu paling menarik. JANGAN LUPA TULISKAN NAMA DAN KELAS DI KOLOM NAMA dan URL. NAMA WAJIB DIISI, URL DIKOSONGKAN.
Setelah itu silakan lanjutkan bait puisi berikut sesuai dengan imajinasimu, berilah judul yang menarik. Yang terbaik akan dibacakan saat perayaan bulan bahasa ...
dengan kedua tanganku yang muda, ku tampung semuayang jatuh dari langit tua. hari masih sangat pagi, udaradalam mulutku beku, dan kota-kota belum tumbuhdari kakiku...............